Menjadi Relawan itu Menyenangkan dan Membahagiakan

Cuaca hari Sabtu lalu cukup cerah. Nampaknya, semesta mendorongku untuk menjadi relawan di salah satu program organisasi nirlaba. Saat pertama kali organisasi tersebut membutuhkan relawan, dan harinya cocok, aku tidak berpikir dua kali untuk mengikuti kegiatan berbagi makanan gratis. Lokasinya memang cukup jauh, yaitu di daerah Cimande, Kabupaten Bogor, tetapi itu bukan menjadi masalah. Mempertimbangkan cuaca, aku pun memutuskan untuk berangkat bersama seniorku dengan mobil. 

Sepanjang perjalanan, warna langit berubah menjadi kelabu. “Apakah nanti akan hujan saat pelaksanaannya?” Pikirku. Tidak ada tanda-tanda bahwa langit akan kembali cerah. Sesampainya di tempat acara, langit mulai menitikkan air. Meskipun begitu, pemandangan hijau di kanan-kiri mengalahkan kelamnya langit. Sesampainya di sana, Ibu Rani (bukan nama sebenarnya) menyapa kami. 

Ibu Rani mengajakku dan seniorku berkeliling melihat keseluruhan tempat yang disebut Anak Petani Cerdas Training Center. Ibu Rani menceritakan bahwa tim Anak Petani Cerdas menanam banyak tanaman, mulai dari tomat, durian, hingga alpukat. Aku sempat melihat buah alpukat yang masih remaja. Kata Ibu Rani, ketika panen, hasil tanamannya tidak dijual, melainkan dibagikan untuk anak-anak yang bersekolah di Anak Petani Cerdas. “Gila, padahal kalau dijual, keuntungannya lumayan besar. Dermawan sekali!”

Oh ya, Anak Petani Cerdas Training Center dimiliki oleh salah satu pengajar waktu aku belajar di Akademi Komunitas Nusantara. Jujur, aku agak lupa. Untungnya ada Mbah Google. You know what? She is the real deal! Latar belakangnya membuatku malu sekaligus terinspirasi. Dia merupakan mantan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Hongkong. Sambil bekerja, dia juga melanjutkan pendidikan tingginya, hingga akhirnya menjadi mahasiswi terbaik di kampunsya. Dia juga menjadi satu-satunya sarjana di desanya. 

Setelah takjub oleh keindahan dan kedermawanan dari Anak Petani Cerdas, aku mendapat cerita dari salah satu temanku – yang sudah hadir duluan – kalau lingkungan di sekitar Anak Petani Cerdas punya dua masalah mendasar. Pertama, masalah pendidikan. Warga sekitar hanya tamatan Sekolah Dasar (SD). Akibatnya, mereka tidak punya pekerjaan yang tetap dan sulit bersaing. Kedua, masalah sanitasi. Sumber air mereka tercampur dengan limbah rumah tangga. Dengan kata lain, sama sekali tidak bersih dan higienis.

Persiapan yang Solid

Setelah bertegur sapa dengan sesama relawan, kami mempersiapkan kegiatan berbagi makan gratis. Ada relawan dari organisasi Empower Indonesia Foundation. Mereka semua ramah dan fun. Meskipun kami tidak saling mengenal, kami bisa bekerja sama dengan baik. Ada yang meletakkan makanan di wadah, ada yang mencabut rambutan dari rantingnya. Intinya, kita semua bersatu padu untuk menyukseskan kegiatan tersebut. Semuanya bekerja dengan kompak!

Itulah salah satu alasan yang membuatku senang menjadi relawan. Kita punya hati yang sama, yaitu untuk berkontribusi ke masyarakat. Agama Islam pun mengajarkan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat. Walau mungkin ada dari kita yang finansialnya pas-pasan, tetapi tidak menyurutkan niat untuk berbagi. Aku makin memahami kenapa Indonesia bisa menjadi negara nomor satu urusan kedermawanan selama tiga tahun berturut-turut: Gotong royong kita tiada tanding!

Pendistribusian Makanan

Tepat setengah hari, kegiatan dimulai! Ada tiga batch, di mana satu batch kira-kira berjumlah 60-80 anak – menurut perkiraanku. Anak-anaknya berbaris dengan rapi, membawa tempat makannya sendiri. Aku dan beberapa rekan relawan membagikan makanan kepada anak-anak tersebut.

Sambil aku membagikan makanan, aku mengamati mimik wajah anak-anak yang hadir. Senyum merekah di wajah mereka. Anak-anak tersebut makan dengan happy. Bagiku, lauk-pauknya terlihat biasa saja, akan tetapi, bagi anak-anak tersebut, makanannya luar biasa. Mungkin, mereka belum bisa makan enak setiap harinya. Bisa jadi, hari Sabtu kemarin adalah hari bahagia mereka, dan menjadi bekal untuk melalui hari-hari berikutnya. 

Di momen itu aku merasa bersyukur. Alhamdulillah, aku dan keluarga bisa makan enak. Perut terjamin kenyang setiap harinya. Masih bisa memenuhi beberapa kebutuhan sekunder dan tersier. Masih bisa tidur dengan nyenyak. Aku pun memiliki pekerjaan yang nyaman, membuatku berkembang, dan sesuai dengan value yang kupegang.  

Lesson-learned

Momen melihat anak-anak lahap makannya menghangatkan hatiku. Aku happy menjadi bagian yang menyenangkan hari mereka. Aku bersyukur keberadaanku bermanfaat bagi anak-anak. 

Tugasku memang hanya serving the food. Sederhana sekali. Namun, kalau kita melakukannya dengan hati dan pikiran yang terbuka, muncul perasaan yang aku sendiri pun tidak bisa mendeskripsikannya dengan tepat: apakah itu rasa syukur, bahagia, senang.

Bagiku, menjadi relawan itu menyenangkan dan membahagiakan. Kabar baiknya, kita bisa menjadi relawan tanpa menunggu kapasitas finansial kita meningkat drastis. Alangkah lebih baik kalau kita dapat mengerahkan lebih banyak sumber daya. Namun, kalau menunggu untuk mencapai keadaan finansial tertentu, mau sampai kapan? Kita tidak tahu kapan malaikat pencabut nyawa mengambil nyawa kita. Tidak ada waktu yang benar-benar tepat untuk mulai melakukan sesuatu. 

Aku tidak menyesali perjalanan yang menghabiskan waktu kurang lebih lima jam (pulang-pergi). Kalau ditukar dengan pengalaman yang bikin happy, aku akan terus melakukannya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *