Beberapa hari yang lalu, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan bahwa Indonesia akan menciptakan kecerdasan buatan (AI) khas Indonesia. Dia mengaku terinspirasi oleh keberhasilan DeepSeek dalam menciptakan model terbaru dengan biaya yang minimal. Oleh karena itu, ia bergegas untuk mempersiapkan rancangannya dalam beberapa waktu kedepan.
Optimisme tersebut perlu diapresiasi, terlebih kita memasuki era AI yang penuh ketidakpastiaan. Indonesia harus menjadi negara pembuat, bukan hanya penikmat AI. Namun begitu, kita perlu sama-sama menyadari bahwa teknologi kecerdasan buatan mengandung manfaat sekaligus risiko yang sama besarnya.
Harapan Kepada AI
Fungsi utama teknologi adalah membantu kegiatan manusia. Sejak zaman dahulu, teknologi ada untuk mengakomodir keinginan manusia untuk lebih efektif dan efisien. Perahu misalnya, diciptakan untuk bisa mengarungi ganasnya lautan. Mesin cetak berfungsi memperbanyak karya, sehingga beragam lapisan masyarakat bisa mengaksesnya. Hal yang sama juga berlaku pada teknologi kecerdasan buatan.
Banyak pihak menganggap kecerdasan buatan bisa membantu urusan sehari-hari, seperti misalnya berbelanja. Di Indonesia, survey dari Lazada dengan Kantar menemukan, 82% pengguna platform menggunakan AI setidaknya seminggu sekali untuk mempermudah pencarian produk, mempercepat pelayanan, dan meningkatkan pengalaman belanja. Bahkan, 85% konsumen Indonesia bersedia membayar lebih untuk bisa menggunakan AI.
Tidak hanya untuk kepentingan sehari-hari, berbagai pihak meyakini bahwa AI bisa menjadi alat untuk menyelesaikan tantangan kompleks. Jonathan Jackson, founder dari Dimagi, perusahaan sosial yang berfokus memberikan akses teknologi kepada masyarakat kurang mampu, mengatakan bahwa AI bisa mentransformasi bagaimana kita menyelesaikan masalah.
Premis tersebut menjadi tak terbantahkan tatkala The Climate Technology Progress Report yang ditulis PBB menuliskan respon positif tentang teknologi digital. Laporan PBB tersebut berkata bahwa teknologi digital termasuk kecerdasan buatan, bisa memetakan potensi energi terbarukan, meningkatkan efisiensi dan interkonektivitas dengan sektor lain.
Sentimen positif PBB tentang AI juga terjewantahkan di luar sektor energi terbarukan. The Cheung Kong Graduate School of Business dan John Hopkins University’s Carey Business School meluncurkan AI-Driven Healthcare Innovation Program. Di samping itu, China mengujicobakan model AI yang bernama PUMCH-GENESIS untuk mendiagnosa penyakit langka. Pemanfaatan AI di berbagai bidang semakin menegaskan bahwa AI menjadi pusat dari segala inovasi. Banyak pihak melihat potensi besarnya di berbagai bidang. Oleh karena itu, banyak dana digelontorkan untuk meningkatkan pengembangan AI supaya bisa menciptakan model yang lebih baik dan memperluas manfaat kepada masyarakat. Kecerdasan buatan membuka pintu-pintu baru yang tidak terjamah sebelumnya.
Masih Banyak Loopholes
Walaupun AI punya segudang manfaat, tetapi kita perlu melihat sisi lain dari AI. Algoritma kecerdasan buatan bisa bekerja optimal apabila ia punya segudang data untuk diolah. Data tersebut menjadi bekal bagi AI untuk menciptakan respon yang lebih baik. Pertanyaannya adalah darimana AI mendapatkan data tersebut? Tidak lain dan tidak bukan adalah dari kita. Artinya kita merupakan objek data untuk mereka.
Apa yang kita cari di internet, di platform media sosial, maupun e-commerce, menjadi konsumsi algoritma. Algoritma AI mempelajari pola dan sikap kita, dengan tujuan memahami kita lebih baik. Ketika algoritma mengumpulkan data-data tentang sikap manusia, algoritma akan memunculkan preferensi berdasarkan data yang terkumpul.
Media sosial bisa menjadi analogi sederhana. Saat kita mengklik akun tertentu, algoritma akan mendeteksinya. Algoritma tersebut kemudian akan memunculkan preferensi yang sesuai dengan minat kita. Oleh karena itu, kita tidak perlu heran jika apa yang kita lihat mirip dengan preferensi kita. Kita menjadi lebih lama berada di media sosial karena mereka menyediakan konten yang sesuai selera kita. Kalau kita terus berada di media sosial, algoritma akan mendapat lebih banyak data tentang kita. Akibatnya, algoritma punya kemungkinan untuk lebih tahu tentang diri kita.
Riset dari Mcdonald et al. (2024) membuktikannya ketika mereka meneliti dampak konten bagian “for you” pada remaja usia 13-17 tahun. Hasilnya? Remaja yang diteliti menganggap konten yang dipersonalisasi merupakan refleksi dari dirinya. Apakah hal itu bagus? Menurut penulis tidak! Karena ada pihak lain (baca: perusahaan teknologi) di luar diri kita dan orang terdekat yang mengetahui tentang kita. Itu melanggar batas privasi.
Namun, tidak hanya itu permasalahannya. Selain privasi, AI juga menghadapi tantangan besar terkait bias data. Kecerdasan buatan adalah tentang data. Keduanya harus berjalan selaras karena output dari AI bisa berkualitas hanya jika ia mengonsumsi data yang berkualitas pula. Namun demikian, beberapa penemuan yang mengindikasikan bahwa model AI masih banyak masalah tentang dataset yang bias.
Studi dari Infocomm Media Development Authority (IMDA) dan Humane Intelligence di tahun 2024, mengungkapkan masih banyak bias di dalam model AI. Sebanyak 69,6% bias muncul ketika prompting menggunakan bahasa suatu negara dibandingkan bahasa Inggris. Lebih lanjut, bias gender muncul sebagai bias terbanyak dengan persentase 26,1%, disusul bias agama (22,8%), bias identitas (22,6%), dan bias sosial-ekonomi (19%). Artinya, AI memiliki data yang kurang berkualitas.
Model AI pun juga belum mampu memproses data-data yang sifatnya kontekstual. Ada dua percobaan yang membuktikannya. Percobaan pertama dari media BBC. Salah satu media terkemuka Inggris tersebut membuka akses portal beritanya kepada empat asisten AI terkemuka, yaitu ChatGPT, Gemini, CoPilot, dan Perplexity. Temuan BBC menunjukkan bahwa empat AI tersebut masih belum mampu menjawab pertanyaan seputar berita, bahkan cenderung cacat logika.
Percobaan kedua datang dari penelitian tentang bagaimana AI menjawab pertanyaan sejarah. Peneliti memasok data sejarah dari periode kuno sampai revolusi industri ke ChatGPT, Gemini, dan Llama. Ketiga AI tersebut memang mampu menjawab beberapa fakta sejarah dasar, Namun, mereka kesulitan untuk memaparkan sejarah dari wilayah Oseania dan Afrika Sub-Sahara.
Fenomena dan fakta tersebut menunjukkan kepada kita tiga hal penting. Pertama, masalah bias muncul karena terdapat ketidakseimbangan data. Ini bisa kembali pada faktor seperti apa pasokan data yang diterima. Kedua adalah AI yang masih belum kompeten dalam memahami fakta-fakta yang kompleks dan kontekstual, yang telah dibuktikan oleh BBC dan penelitian tentang sejarah. Ketiga adalah bahwa algoritma berfokus pada memaksimalkan engagement. Algoritma media sosial menjadi ilustrasi yang tepat soal itu. Pemilik media sosial ingin kita terus engage di platform mereka. Keterlibatan kita yang terus menerus menjadi data penting untuk para pembuat media sosial.
Serius atau Hanya Wacana?
Kembali kepada rencana pemerintah untuk membuat model AI sendiri, manfaat dan risiko harus dipertimbangkan dengan matang. Bias data, privasi data, dan kontekstualisasi data merupakan masalah AI saat ini. Jika pemerintah Indonesia serius ingin mengembangkan AI, akan lebih baik jika kita tidak menduplikasi model secara serampangan. Bagaimanapun, ekosistem AI di Indonesia masih belum optimal. Menurut Government AI Readiness Index 2023, Indonesia berada di peringkat 42 dari 183 negara, masih tertinggal dari Malaysia dan Singapura. Selain itu, dalam Global AI Index 2024, Bumi Pertiwi menempati peringkat 49 dari 83 negara.
Ada sejumlah alasan mengapa ekosistem Indonesia masih tertinggal dengan negara lain. Riset dari Katadata Insight Center 2025 mengungkapkan dua alasan utamanya, yaitu teknologi dan regulasi. Dari sisi teknologi, Indonesia masih tergolong negara konsumen, serta pemanfaatan yang masih berbasis keseharian. Dari sisi regulasi, belum ada payung hukum yang jelas mengenai pengembangan AI secara holistik. Indonesia masih mengadopsi etika AI, yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk surat edaran. Ketiadaan payung hukum tersebut membuat Indonesia tidak memiliki mekanisme inovasi dan sanksi yang jelas tentang AI.
Kondisi Indonesia sangat berbeda dengan China. China memiliki visi yang jelas, di mana China akan menjadi global hub di tahun 2030. Visi itu kemudian diterjemahkan dalam berbagai kebijakan. Pemerintah China telah menciptakan dua inisiatif, yaitu Interim Measures for the Management of Generative AI Services (2023) dan the AI Safety Governance Framework. Kedua Inisiatif tersebut membahas risiko AI sembari tetap mengembangkan AI secara maksimal sesuai kebutuhan negara dan industri. China juga fokus mengembangkan pendidikan AI. Semenjak tahun 2018, China telah menghasilkan 2.000 lulusan S1 bidang AI, di mana lebih dari 300 talentanya berkuliah di universitas top di China.
Negara-negara lain juga tidak kalah dengan China. Amerika Serikat membuat proyek Stargate dengan nilai investasi 500 milliar dollar. Tidak usah jauh-jauh, Malaysia telah berinvestasi sebesar 114,7 miliar ringgit (sekitar 423 triliun rupiah) dari 2021-2023 untuk pembuatan pusat data AI.
Artinya adalah, Indonesia bisa menciptakan DeepSeek versi Indonesia, tetapi jalannya panjang dan terjal. Namun, bukan berarti realisasi tersebut tidak mungkin. Indonesia memiliki potensi anak muda yang besar dari segi jumlah. 10% saja anak muda yang memahami AI secara keseluruhan, itu akan sangat membantu Indonesia untuk masuk dalam persaingan global. Catatannya adalah, mengembangkan AI bukanlah pekerjaan satu atau dua tahun. Pengembangan AI adalah tanggung jawab beberapa tahun.
Oleh karena itu, Indonesia perlu mengembalikan pendidikan sebagai prioritas utama, bukan pendukung. Pendidikan kita juga perlu penyesuaian dengan perkembangan zaman, dengan membekali anak muda dengan pemahaman praktis AI, tetapi juga secara filosofis. Pengembangan AI harus bertanggung jawab, tidak hanya untuk keuntungan maupun memaksimalkan keterlibatan.
Di samping itu, pemerintah juga perlu meningkatkan dana riset. China – selama satu dekade terakhir – telah menggelontorkan dana riset sebesar 912 miliar dollar, yang terdiri dari dana pemerintah maupun swasta. Besarnya dana tersebut membuahkan hasil yang luar biasa. Salah satunya adalah DeepSeek yang dikembangkan dengan biaya yang minimal karena ekosistemnya (penelitian dan manusia) mendukung. Setidaknya, untuk mengikuti langkah China, Indonesia perlu menggelontorkan dana besar terlebih dahulu, entah dari pemerintah, swasta, maupun investor. Dana tersebut akan digunakan untuk mencari cara membuat AI dengan lebih efisien dan efektif.
Satu hal lain yang tidak kalah penting adalah regulasi tentang AI. Indonesia masih belum punya regulasi AI yang solid. Ini pun semakin membuktikan tesis Thomas Friedman bahwa manusia tidak mampu mengimbangi kecepatan perkembangan teknologi. Akan tetapi, itu bisa diantisipasi apabila regulator memiliki visi yang jauh kedepan, serta mampu memperkirakan perkembangan AI dalam beberapa waktu kedepan.
Apakah Indonesia mampu menciptakan AI versi Nusantara? Tanpa regulasi yang jelas, pendidikan talenta yang holistik, dan investasi yang serius dalam riset AI, Indonesia berisiko menjadi sekadar pengguna AI dari negara lain, bukan pencipta teknologi yang mandiri. Apabila pendidikan dan riset bukan prioritas utama, jangan harap Indonesia bisa menjadi pemain global.