“Menjadi pemimpin bukanlah perkara mudah. Malahan, menjadi pemimpin adalah salah satu tugas paling susah,” begitulah pikirku saat ini. Dulu, aku memimpikan untuk mengambil posisi pemimpin karena keren dan dicari banyak orang. Tidak terpikirkan bagiku akan tanggung jawab yang diemban oleh seorang pemimpin. Sekarang, aku merasa bahwa setiap orang bisa meraih posisi pimpinan, tetapi tidak semua orang mampu memimpin.
Ada satu syarat penting untuk menjadi seorang pemimpin hebat. Syarat itu pernah Itachi Uchiha katakan kepada Naruto, “Becoming The Hokage Doesn’t Mean People Will Acknowledge You. But When The People Acknowledge You, You Can Become Hokage.” Dari kata-kata ini, bukan individu yang mengajukan diri sebagai pemimpin, lalu orang-orang akan mengakui. Tetapi, orang-orang harus mengakui diri kita sebagai calon pemimpin. Jadi calon presiden dan wakil presiden saja pun harus melalui mekanisme partai, kan? Kalimat kuncinya adalah pengakuan dari orang-orang.
Umar bin Abdul Aziz, salah satu khalifah di masa Dinasti Umayyah pernah mencontohkan ini. Waktu itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan abdi-abdinya berunding untuk menentukan siapa pengganti gubernur di wilayah Baghdad. Ada satu abdinya yang dengan percaya diri mengajukan diri. Dia berkata bahwa dia memahami apa yang harus dilakukannya. Pertanyaannya adalah bagaimana Khalifah Umar meresponnya? Dia justru mencoret nama abdinya sebagai calon gubernur di Baghdad.
Apa yang Khalifah Umar lakukan kepada abdinya menjadi refleksi buatku. Menjadi pemimpin adalah soal kelayakan. Menilai kelayakan bukanlah berasal dari diri sendiri, melainkan orang lain. Kenapa? Karena pemimpin akan jadi penuntun bagi orang-orang yang dipimpinnnya, sehingga justru rakyatlah yang harus menjadi hakim atas kelayakan calon pemimpinnya. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun dipilih berdasarkan uji kelayakan dan kepatutan dari pihak lain, bukan?
Lantas, apa yang membuat seseorang layak menjadi pemimpin? Menurutku, ada tiga kualitas dasar yang mutlak dimiliki oleh pemimpin. Disclaimer terlebih dahulu kalau tiga kualitas ini aku saring berdasarkan apa yang aku rasakan dan pikirkan saat menjadi leader dan anggota, serta dari buku dan riset yang aku baca.
Menguasai Emosi dan Nafsu
Barata, adik Prabu Ramawijaya (Rama), pergi ke hutan belantara untuk menjemput Rama dari pengasingannya dan kembali ke Ayodya. Barata menganggap bahwa Rama-lah yang harusnya menjadi raja Ayodya, bukan dirinya. Singkat cerita, setelah bertemu Rama, Rama tidak setuju sebelum memenuhi komitmennya tinggal di hutan selama 13 tahun. Pada akhirnya, Barata dan Rama sepakat bahwa Barata akan menjadi wakilnya Rama sampai ia kembali ke Ayodya.
Sebelum kembali ke Ayodya, Rama memberikan petuah ke Barata bagaimana memimpin kerajaan:
“… Ingatlah bahwa pertama-tama kau sebenarnya harus memerintah dan menjadi raja bagi dirimu sendiri, sebelum kau memerintah dan menjadi raja bagi rakyatmu. Artinya, kau harus menguasai segala nafsumu, kamu harus menjadi bebas sendiri tanpa keinginan untuk memaksakan apapun …” (Dikutip dari buku “Anak Bajang Menggiring Angin” karya Sindhunata)
Ketika membaca petuah Rama, aku langsung teringat Hitler. Menurutku, Hitler adalah manifestasi dari pemimpin yang digerakkan oleh nafsu. Salah satu buktinya ialah ketika ia mendeklarasikan ras Arya (dan kulit putih lainnya) sebagai ras superior dibandingkan Slavic, Arab, Africaans, dan Yahudi. Dia hanya membanggakan satu ras, sehingga yang lain dianaktirikan. Menurutku, itu merupakan bentuk nafsu.
Sikap Hitler adalah salah satu bentuk ekstrim dari pemimpin yang penuh nafsu. Tentu ada banyak contoh lainnya yang sudah teman-teman lihat dan rasakan. Pemimpin yang seperti ini menjadi red flag buatku. Sejarah pun sudah membuktikan kalau pemimpin yang tidak bisa menguasai nafsunya, periodenya tidak akan panjang.
Mampu Memberi Kasih Sayang
Ketika merenungkan soal kasih sayang seorang pemimpin, aku memikirkan tentang apa yang terjadi kalau orang tuaku tidak mendidikku dengan kasih sayang? Bisa jadi aku menjadi individu yang kurang baik, individu yang egois, dan individu yang keras hati. Beruntungnya aku memiliki orang tua yang membesarkanku dengan penuh kasih sayang.
Mungkin teman-teman mikir, apa kaitannya kasih sayang orang tua dengan pemimpin? Bagiku, pemimpin adalah orang tua, di mana rakyat merupakan anak asuhnya. Di rumah, orang tua berperan sebagai pemimpin, penuntun, dan fasilitator bagi perkembangan anak-anak. Dalam konteks negara, kerajaan, atau daerah, pemimpin menjadi orang tua bagi masyarakatnya. Karena itu, pemimpin perlu menunjukkan kasih sayang kepada anggota atau rakyatnya.
Ada banyak contoh di mana pemimpin yang menunjukkan kasih sayang berhasil membawa wilayahnya berkembang pesat. Harun Ar-Rasyid, khalifah terkenal di dinasti Abbasiyah, berhasil membawa Islam mencapai puncak kejayaannya, di mana Baghdad jadi pusat ilmu pengetahuan, di mana orang-orang makmur, sejahtera, dan aman.
Ada banyak penelitian yang mengungkapkan kalau memimpin dengan kasih sayang punya dampak yang besar. Artikel dari Harvard Business Review menjelaskan dari A sampai Z tentang dampak dari memimpin dengan kasih sayang, mulai dari lebih sedikit burnout sampai hubungan yang lebih baik. Bahkan, ada penelitian di Kanada yang meneliti 3.000 orang dari taman kanak-kanak sampai berusia 30 tahunan. Hasilnya, mereka yang paling banyak berbuat baik mendapat pendapatan tahunan yang lebih tinggi dari mereka yang berlaku agresif.
Mampu Bersikap Rendah Hati
Ada yang menarik dari kisah Umar bin Abdul Aziz. Waktu menjadi khalifah, dia tidak duduk di atas singgasana, melainkan lesehan. Dia duduk hanya beralaskan tikar. Dia menganggap bahwa pemimpin bukanlah seseorang yang ada di atas rakyatnya, melainkan bersama dengan rakyat. Pemimpin adalah pelayan bagi kepentingan banyak orang.
Bagiku, sikap Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah kerendahatian. Menurutku, saat ini jarang ada pemimpin yang rendah hati, mau menundukkan diri demi kepentingan rakyat. Dia juga menerima dengan tangan dan pikiran terbuka masukkan dari banyak pihak. Khalifah Umar bin Abdul Aziz pun membiarkan rakyat kecil menyampaikan aspirasinya — kecuali kaum Quraisy yang terlalu banyak mendapat keuntungan dari negara di masa raja sebelumnya.
Rendah hati pun menjadi pemicu munculnya inovasi dan kolaborasi. Pemimpin yang rendah hati meraih kesuksesannya dengan saling meningkatkan kapasitas diri, mentoring, dan menciptakan jaringan orang-orang yang hebat. Pemimpin yang rendah hati akan lebih mau mendengarkan perspektif orang lain dan bekerja sama dengan banyak pihak. Pada akhirnya, pemimpin yang rendah hati mengungguli pemimpin yang arogan.
Kenapa aku tidak memasukkan “adil dan bijak“? Menurutku, adil dan bijak adalah hasil ketika tiga kualitas ini konsisten dipraktikkan. Bagiku, tiga kualitas tersebut dasar dan penting, tetapi menurutku sudah mulai dilupakan. Pemimpin yang memiliki tiga kualitas ini akan menjadi pemimpin yang hebat. Untuk memiliki tiga kualitas ini butuh perjalanan dan pengalaman yang panjang. Karenanya, menjadi pemimpin itu susah karena harus siap menempuh jalan yang terjal dan berbatu. Tetapi, di situlah orang akan menilai apakah seseorang bisa melalui jalan tersebut atau tidak.