Menjadi orang dewasa itu menyebalkan dan menyulitkan. Saat aku mengelilingi kota kampung halaman dengan motor, pikiran-pikiran seperti cita-cita, kemapanan finansial, tagihan-tagihan, dan pekerjaan memenuhi sudut-sudut pikiranku. “Oh, ternyata seperti ini ya menjadi dewasa. Ada banyak hal yang harus aku pikirkan.”
Bahkan sampai hal terkecil pun aku pikirkan, misalnya ketika menginginkan frappe di Poins Indomaret. Aku melihat indomaret di sisi kiri jalan, lantas aku memarkirkan motorku. Aku masuk ke dalam, dan ternyata aku tidak membeli frappe tersebut. Aku lebih memilih untuk membeli sesuatu yang lebih affordable, serta bisa dinikmati banyak orang. Apakah proses berpikir tersebut merupakan bagian dari pendewasaan?
Pada gambaran yang lebih besar, ada beberapa hal yang akhirnya aku pahami di usia-usia ini.
Selektif itu Wajar
Aku jadi paham kenapa semakin dewasa, orang-orang semakin selektif memilih kegiatan atau bercengkrama bersama teman. Kita selektif bukan karena tidak ingin melakukan banyak aktivitas, melainkan terbatasnya waktu dan energi. Weekdays telah digunakan untuk bekerja menyambung hidup, sedangkan weekend merupakan waktu istirahat atau melakukan project yang menyenangkan.
Hal-hal tersebut menempati peringkat teratas dalam daftar prioritas kita, sehingga waktu beraktivitas bersama teman-teman menjadi berkurang. Waktu dan energi kita juga tidak sebesar saat masih di awal 20-an. Kita juga makin akrab dengan koyo, freshcare, bekam, dan pijat refleksi. Karena keterbatasan energi dan waktu, kita lebih memilih kualitas dalam banyak hal, terutama pertemanan.
Deborah Tannen, profesor linguistik di Universitas Georgetown, mengatakan hal yang menarik soal pertemanan. Pertemanan merupakan hal yang bisa kita pilih, tidak seperti keluarga. Oleh karena itu, kita bisa memutuskan untuk berteman dengan siapapun maupun mengakhiri persahabatan. Mungkin benar kalimat yang mengatakan “You’re not that important to other people.”
Life Skill Terpenting: Literasi Finansial
Setelah lulus kampus, aku langsung bekerja. Di alam bawah sadarku, aku tahu bahwa aku tidak boleh menghabiskan semua pendapatanku. Aku beruntung memiliki kesadaran tersebut karena aku bisa bertahan hingga kini. Ironisnya, perguruan tinggi tidak mengajarkan soal asuransi, tabungan pensiun, pajak, dana darurat, dan lain sebagainya.
Riset global di tahun 2023, yang membandingkan literasi finansial di berbagai negara, menemukan bahwa kesadaran finansial rendah di negara seperti Italia, Singapura, Peru, dan Jepang. Pada demografi anak muda, literasi finansialnya rendah, padahal merupakan demografi yang besar dalam pasar kerja.
Fenomena tersebut menjadi bukti bahwa literasi finansial merupakan komponen penting dalam menavigasi hidup. Aku baru mengetahui hal-hal tersebut dalam beberapa tahun terakhir melalui buku-buku finansial yang aku baca, pengalaman kerja, dan sumber-sumber lainnya. Aku beruntung dan bersyukur memiliki sumber daya untuk mengakses pembelajaran finansial. Namun, belum tentu orang lain punya resources yang sama.
Harus Siap untuk Putar Haluan
Aku masih ingat ketika ditanya seorang teman keinginan setelah lulus kuliah. Dengan keyakinan tak tergoyahkan, aku bilang akan menjadi dosen dan peneliti. Ekspektasiku, setelah lulus adalah aku akan bekerja di sektor ilmu pengetahuan. Hidup pun nampaknya memberikan karpet merah karena aku mendapat pekerjaan pertamaku sebagai asisten peneliti di satu proyek penelitian.
Akan tetapi, kehidupan mulai memberi jalan berliku. Di tahun 2020, semua merasakan dampak dari pandemi COVID-19. Lapangan pekerjaan sedikit, proyek penelitian hampir selesai, dan lowongan kerja terkait penelitian membutuhkan kualifikasi pendidikan magister. Sedangkan aku butuh uang untuk bisa menyambung hidup – setidaknya agar tidak merepotkan kedua orang tua. Untungnya, aku punya sedikit kemampuan menulis. Kemampuan itulah yang aku optimalkan, yang membuatku bisa menghasilkan karya. Kemampuan menulis itu jugalah yang membuatku bisa berkarier di organisasi nirlaba.
Aku tidak pernah membayangkan bahwa aku akan menapaki karier di bidang nirlaba. Di bayanganku, aku mengabdikan diri di lembaga riset dan menempuh kuliah magister setelah dua tahun bekerja. Kenyataannya, saat ini aku menikmati waktuku di organisasi nirlaba sambil mencari tahu karier yang tepat untukku, baik secara profesional maupun personal.
Harus Ikhlas Bahwa Timeline Setiap Orang Berbeda
Realita lain yang harus kuhadapi adalah betapa bervariasinya linimasa hidup. Mudah mengatakan bahwa kita menerima kenyataan tersebut. Tetapi, ketika kita melihat teman kita lima kilometer lebih cepat dari kita, padahal kita tahu kepribadiannya bagaimana, hati pun mungkin tidak akan siap menerima fakta tersebut.
Aku pernah mengalami hal tersebut. Ketika aku menceritakan kegelisahanku kepada salah satu sahabatku, dia mengatakan satu kalimat pendek, “Mungkin lo belum ikhlas dengan fakta tersebut.” Bisa jadi demikian, terlebih aku masih sering mengakses media sosial. Melihat teman-temanku sudah mulai mapan membuatku bertanya-tanya apakah aku akan merasakan hal itu juga.
Namun, perlahan-lahan aku mulai ikhlas menerima fakta bahwa setiap orang berbeda linimasanya. Ada orang yang mulai dari bawah, ada yang dari tengah, dan ada yang langsung dari atas. Kebanyakan orang mungkin akan memiliki sentimen negatif pada orang yang punya privilege. Itu memang jadi salah satu faktor yang menentukan kesuksesan, tetapi ada banyak faktor lain seperti lingkungan, kecerdasan, kerendahan hati, dan lain-lain.
Ada Harga dari Keputusan
Ada satu hal lain yang aku sadari soal menjadi dewasa, yakni hidup kita bukan hanya untuk diri sendiri. Ada orang lain yang menaruh harapan dan ekspektasi pada pundak kita, seperti kedua orang tua kita misalnya. Harapan dan ekspektasi tersebut berpengaruh pada mekanisme pengambilan keputusan hidup.
Suka atau tidak, keputusan yang akan kita ambil nantinya berpengaruh kepada banyak pihak. Misalnya saja, aku memutuskan untuk mengambil pekerjaan yang pendapatannya tidak sebesar sekarang. Pastinya akan ada adjustment yang harus dilalui. Selain itu, ada konsekuensi yang harus dihadapi ketika salah memilih.
Oleh karena itu, setiap keputusan harus melalui pertimbangan yang sangat matang. Bahkan, mengeluarkan uang untuk hal lain juga harus memikirkan pos-pos kebutuhan dan keinginan lainnya. Namun ada sisi baiknya, kita jadi tidak tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu. Kita bisa memikirkan keputusan dari banyak sisi.
Satu lagi yang aku hampir lupa. Menjadi dewasa membuatku sadar bahwa aku tidak tahu apa-apa. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan nanti. Banyak hal yang ada di luar kendaliku. Dan itu membuatku takut sekaligus cemas. Di situlah aku mengandalkan Tuhan dalam setiap langkahku. Aku bukan orang yang taat-taat amat, tetapi tanpa Tuhan, aku mungkin akan menangis dan cemas setiap harinya.
Kesimpulannya, menurutku, menjadi dewasa merupakan proses yang berat, menyulitkan, dan menyebalkan. Ada banyak hal yang berbeda dari imajinasi dan impian, sehingga berpotensi membuat kita stres. Butuh proses yang lama juga untuk menerima perbedaan nasib dan takdir.
Namun bagiku, proses yang telah aku alami dalam beberapa tahun terakhir membuatku jadi lebih bijak. Aku yang dulunya terburu-buru dalam mengambil keputusan, menjadi lebih penuh pertimbangan. Aku menjadi orang yang lebih adaptif dalam menyikapi beragam situasi dan kondisi.
Banyak proses yang membuat kita tidak nyaman. Tetapi, aku percaya ada banyak sisi baik dari pendewasaan ini.