Menjadi seorang esensialis berarti kita tahu prioritas dan berani melakukan trade-off. Namun, kita kadang dihadapkan pilihan untuk mengiyakan setiap kesempatan yang masuk. Tapi, gimana kalau itu justru membebani kita? Aku tidak akan menghakimi siapapun yang mengatakan “Ya” dalam setiap kesempatan. Akupun masih sering mengucapkan kata ajaib tersebut. Banyak kesempatan yang tidak boleh kita lewatkan. Kita pun merasa mampu melakukan semuanya, meskipun sudah banyak hal yang jadi tanggung jawab kita. Seketika, kita menjadi manusia yang paling sibuk di muka bumi dengan waktu istirahat yang minim. Apalagi, kredo hidup yang berlaku saat ini berbunyi “Kalau tidak sibuk berarti tidak bermanfaat.”
Kredo ‘Sibuk’ dan Akibatnya
Hidup di ibu kota – oh ya bukan lagi jadi ibu kota – seolah menuntut kita untuk terus produktif dan terlihat sibuk. Sibuk jadi semacam kata yang hukumnya fardhu ain. Apalagi melihat media sosial yang mendorong netizen berlomba-lomba menjadi orang paling sibuk di dunia. Besok ke Cikini, Kelapa Gading, dan Jatinegara. Lusa pergi ke kafe di Blok M, Gandaria, dan Tanah Abang. Hidup seakan-akan hanya digunakan untuk menjalankan banyak aktivitas, tidak peduli apakah itu bermakna atau tidak. Kita harus terlihat sibuk.
Apa efeknya? Ikut banyak kegiatan yang jadwalnya kadang berbentrokan. Adanya platform Zoom dan Google Meet membuat kita bisa berada di banyak tempat tanpa perlu berpindah. Sehingga, banyak kegiatan pun tak jadi masalah. Setiap pagi, ada puluhan daftar tugas yang harus dilakukan dalam waktu singkat-singkatnya.
Bagaimanapun, menjadi orang yang sibuk tidak bersinonim dengan produktivitas. Banyaknya kegiatan tidak membuat kita mendekatkan tujuan yang diimpikan. Mengutip tulisan Curt Steinhorst di Forbes, hanya memfokuskan diri melakukan to-do list dapat menyebabkan terabaikannya pekerjaan yang lebih kreatif dan bermakna.
Sayangnya, kredo tersebut yang diterapkan banyak organisasi dan perusahaan. Hingga akhirnya, kredo tersebut memakan korban. Anna Sebastian Perayil, perempuan berusia 26 tahun yang bekerja di salah satu firma konsultan terkemuka, meninggal karena terlalu banyak bekerja.
Saya jadi berpikir, apakah melakukan banyak kegiatan, melakukan banyak pekerjaan merupakan langkah yang tepat atau justru membuat jauh dari tujuan?
Sudah Saatnya Berani Trade-off
Bagiku, selama kesibukkanku membawaku lebih dekat ke tujuan, it’s fine. Tetapi, Greg McKeown bilang kalau kita mengatakan “Ya” pada banyak hal, kita juga akan mengatakan “Tidak” pada kesempatan lain. Bisa jadi, kesempatan yang kita tolak justru mempercepat langkah menuju tujuan hidup. “Lah, terus taunya gimana? Bukannya harus terjun dulu baru kelihatan efeknya?“
Bagiku, yang membedakan kita mengambil atau mengerjakan kegiatan bermakna ada tiga, yaitu values, purposes, and goals. Tiga hal itu jadi filter saat memilih sesuatu. Mungkin kita bisa bertanya pada diri sendiri tiga pertanyaan ini: apakah selaras dengan nilai-nilai yang saya anut? apakah aktivitas ini bisa mempercepat langkahku menuju tujuan hidup? Dan apakah itu sesuai dengan tujuannya?
Greg McKeown, dalam bukunya yang berjudul “Essentialism: The Disciplined Pursuit of Less” mengatakan bahwa banyak orang hebat yang terhalang untuk mencapai level selanjutnya karena tidak mampu membuang pola pikir bahwa semua hal adalah sangat penting. Karena tidak melepaskan pola pikir tersebut, kita terjebak dalam siklus yang tidak pernah berakhir, yang membuat tubuh kita terus bergerak untuk menyelesaikan semuanya.
Menjadi seorang esensialis adalah berani memilih sesuatu yang benar-benar membawa manfaat besar. Istilahnya we have to go big on certain things that really matters. Artinya, kita optimal dalam satu atau dua kegiatan yang kita lakukan. Kita juga mengharuskan trade-off: memilih dengan sadar untuk menghadapi masalah tertentu.
Manfaatnya? Aset Paling Berharga Kita Terpelihara
Saat kita memilih secara sadar, kita jadi mulai mengurangi aktivitas yang memang tidak penting. Hal tersebut membuat kita lebih punya waktu untuk memelihara tubuh kita. Tubuh kita mengibarat mesin, yang akan rusak jika digunakan secara non-stop. Bedanya dengan mesin adalah bahwa komponen dalam tubuh kita memerlukan biaya yang sangat besar jika rusak.
Misalnya, pada suatu hari, orang di luar sana terkena serangan jantung. Setelah diperiksa ke dokter, dokter berkata bahwa ia harus melakukan operasi bypass jantung. Operasi tersebut memakan biaya 80 juta hingga 500 juta, tergantung dari rumah sakit, tenaga medis, penggunaan alat teknologi, dan seberapa banyak penggantian pembuluh arteri yang diganti.
Poinnya adalah menjadi seorang esensialis adalah kita jadi bisa memilih secara sadar masalah yang ingin dihadapi berdasarkan nilai, tujuan, dan tujuan kita. Kita jadi lebih tahu batasan pada tubuh kita, yang membantu memelihara aset yang paling berharga, yaitu tubuh kita. Tubuh kita tidak ternilai harganya, dan memperbaiki komponennya sangatlah sulit dan mahal. Belum lagi dampak psikologis lainnya terhadap keluarga. Bukankah kita ingin menikmati hasil usaha kita dengan tubuh yang sehat dan keluarga yang bahagia?
So, choose your battles wisely and avoid making everything important
Pingback: Tak Ada Salahnya untuk Istirahat - Wanderthink