Bebas Tapi Terjebak: Bagaimana Algoritma Media Sosial Mengatur Hidup Kita

Algoritma media sosial seperti otak yang memastikan pengalaman penggunanya maksimal. Algoritma seperti beton yang membuat rumah kokoh. Namun, karena algoritma jugalah, pengalaman bermedia sosial kita jadi tidak nyaman. 

Akhir-akhir ini, cukup banyak diskusi yang berkembang tentang algoritma yang “mengendalikan” kita. Benarkah itu?

Rumah Tahanan Digital

Saat kita masih kecil, kita pasti pernah mendapat hukuman tidak boleh keluar rumah. Meskipun hukumannya hanya sehari, rasanya menjadi tidak bebas. Rumah membatasi gerakan kita untuk melakukan sesuatu yang menarik. Kita tidak bisa bermain bola, bermain petak umpet, atau sekadar mengeksplorasi area sekitar rumah kita. Kita pun jemu, kesal, dan bosan. 

Pengalaman itu, tanpa disadari, kerap kali kita temui saat menjelajah media sosial. Setiap kali kita melakukan scrolling, selalu ada konten baru yang muncul, entah kita mengenal akunnya atau tidak, atau memahami topik yang dibahas atau tidak. 

Bagaimana rasanya, apakah nyaman dengan kondisi tersebut? Kalau merasa nyaman, berarti kemungkinan algoritmanya sesuai dengan gaya bermedia sosial teman-teman. Tetapi, bagaimana dengan mereka yang tidak nyaman? Merasa tidak bebas untuk memilih siapa atau konten yang ingin dilihat? 

Ketidaknyamanan itu yang membuat saya berpikir: apakah media sosial menjadi rumah tahanan bagi penggunanya?

Di rumah tahanan, segalanya diatur dengan ketat. Jadwalnya juga teratur. Ada banyak aturan yang harus kita patuhi. Kita hanya bisa mengikuti aturan, dengan sedikit ruang untuk berargumen. Media sosial juga demikian: kita tidak lagi bisa bebas memilih konten yang ingin kita nikmati. Banyak konten bertanda suggested yang muncul karena pilihan algoritma. Bedanya, algoritma media sosial masih memberikan ilusi kebebasan.    

Dari sinilah terlihat bahwa ada pergeseran mendasar dalam cara kerja algoritma media sosial. Tujuan awal yang sebelumnya difokuskan pada interaksi murni, kini bergeser menjadi upaya memaksimalkan engagement audiens. Artinya, media sosial secara perlahan mengurangi ruang berekspresi. Media sosial menjadi tempat memanen data. 

Semua data interaksi yang kita lakukan menjadi “harta” yang kemudian diolah untuk memaksimalkan keterlibatan penggunanya di media sosial. Kita hanya menjadi objek data bagi perusahaan media sosial, di mana mereka membuat rumah tahanan yang “menyenangkan” bagi penggunanya untuk menciptakan ilusi kebebasan.  

Bukan Lagi Tempat yang Nyaman

Jika kita kembali mengingat masa awal kehadiran media sosial, suasananya jauh lebih sederhana dan nyaman. Interaksi terjadi secara alami, tanpa kecemasan akan data dan privasi. Sekarang, mungkin kita jadi sedikit khawatir ketika berinteraksi dengan konten baru. 

Kita baru mengklik ikon love, dianggap sebagai ketertarikan. Padahal, bisa jadi kita hanya melakukan itu karena suasana hati sedang cocok. Sayangnya, ketertarikan sementara kita diartikan algoritma sebagai data untuk menyediakan konten yang serupa. 

Meskipun demikian, penting untuk disadari bahwa algoritma tidak sepenuhnya jahat. Ia dibuat dengan maksud baik: menyajikan konten yang relevan. 

Namun, ada satu hal yang tak bisa dijangkau oleh kode dan logika algoritma, yakni kondisi emosional pengguna saat berinteraksi di dunia maya. Sayangnya, algoritma tidak mampu membedakan antara kebutuhan emosional dan pola konsumsi digital.

Ada cerita dari remaja usia 16 tahun habis putus cinta. Kemudian dia membuka TikTok dan melihat konten yang sesuai dengan perasaannya. Dia menyukai konten tersebut. Setelah dia like, FYP-nya mulai menyajikan konten-konten yang memvalidasi perasaannya, tapi dengan pola pikir yang negatif. Akhirnya, ia bunuh diri. 

Tragedi remaja tersebut menjadi contoh paling ekstrim yang menunjukkan dampak dari algoritma yang hanya ingin memaksimalkan keterlibatan. Sebuah akhir yang tragis di mana si remaja yang awalnya hanya menginginkan validasi, kini tak lagi hadir di dunia. Bagaimana jika ada orang yang memiliki kondisi emosional serupa? Atau misalnya ada orang yang tertarik dengan konten hoaks, kemudian disuguhkan setiap hari? 

Algoritma yang didesain untuk memaksimalkan keterlibatan membuat media sosial bukan lagi tempat yang nyaman. Media sosial layaknya pemimpin otoriter yang mendikte kita melakukan apa yang menurutnya baik dan benar menurut versinya. 

Momentum untuk Bertindak

Algoritma media sosial yang tidak lagi ramah dan nyaman pengguna membuat sebagian kecil orang mencari opsi lain. Menurut penulis, memburuknya kualitas interaksi media sosial kita menjadi momentum untuk melakukan sesuatu. Setidaknya, ada tiga hal yang bisa kita lakukan.

Pertama, mengurangi jam bermain media sosial. Kita bisa fokus membina hubungan dengan dunia nyata. Hanya kita dan momen kebersamaan bersama alam dan teman kita, tanpa gangguan. Kita bisa menciptakan momen-momen berharga yang layak diingat, seperti saat kita bermain dengan teman-teman kita saat kecil. 

Kedua, mencari alternatif media sosial baru. Memburuknya algoritma media sosial menjadi momentum bagi beberapa orang untuk menciptakan tempat baru, yang bebas dari algoritma engagement yang berlebihan. Sudah ada pilihannya, salah satunya ialah Neptune. Media sosial baru asal Amerika Serikat ini mengutamakan kreativitas dan keterlibatan yang otentik, bukan hanya dari iklan semata. Meskipun demikian, Neptune masih hanya dinikmati oleh pengguna Apple. 

Ketiga, mulai membangun regulasi dunia siber yang mengedepankan privasi, pengalaman, dan keamanan. Ini butuh proses yang panjang, apalagi pemerintah harus berhadapan dengan pelobi dari perusahaan dan juga ketergantungan masyarakat dengan media sosial. Pemerintah perlu merumuskan kebijakan yang bisa diterima oleh banyak aktor dan mengedepankan kesejahteraan masyarakat. 

Kita memang tidak akan bisa menghilangkan teknologi dalam kehidupan kita, terlebih media sosial juga punya beberapa manfaat. Namun setidaknya, kita perlu lebih bijak dalam bermain media sosial. 

Kita harus mulai melakukan langkah kecil nyata agar pengalaman bermain media sosial kita lebih aman. Pengguna bukanlah objek data: mereka adalah manusia yang hanya menginginkan terkoneksi dengan orang-orang.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *