Artificial Intelligence dan Pekerjaan di Masa Depan

Artificial Intelligence (AI) semakin mendisrupsi pekerjaan. Di Filipina misalnya, menurut laporan International Monetary Fund (IMF) per Desember 2024, 36% pekerja di sana menghadapi risiko tergantikan oleh kecerdasan buatan atau mendapat dukungan dari teknologi tersebut. Di India, hanya 70% pekerja percaya diri bahwa pekerjaannya tidak hilang, turun dari 83% di tahun sebelumnya.   

Fakta tersebut membuatku tak henti-hentinya berpikir: sejauh mana AI akan berkembang dan bagaimana makna pekerjaan di era AI?

AI Terus Menjadi Sorotan

Saat ini, AI mampu melakukan banyak hal, mulai dari menulis, mengedit video, hingga menciptakan karya seni. Contohnya, robot humanoid yang dinamakan Ai-Da, dapat melukis di kanvas layaknya seniman manusia.

Banyak perusahaan mulai memanfaatkan AI untuk layanan pelanggan. Misalnya, ketika saya menanyakan produk di salah satu situs web pembuatan video, InVideo, chatbotnya menjawab pertanyaan saya dan memberikan tautan artikel untuk informasi lebih lanjut. Baru-baru ini, Meta juga mengintegrasikan Llama versi 3.2 ke dalam WhatsApp, memungkinkan pengguna untuk bertanya kepada Meta AI tanpa harus mencari di Google.

Perjalanan perkembangan AI masih panjang, tetapi kapabilitas yang ada sekarang mengundang hipotesis bahwa AI bisa menggantikan manusia. Skenario ini mungkin masih jauh, tetapi tidak bisa diabaikan. Saat ini, AI dapat menulis, menerjemahkan, menciptakan seni, menduplikasi suara, mengolah data besar, menjawab pertanyaan, dan mendiagnosa penyakit. Kita tidak tahu seberapa besar perkembangannya dalam 5-10 tahun mendatang.

Keunggulan Komparatif AI

Kemampuan AI memicu ketakutan di kalangan pekerja bahwa pekerjaan mereka akan diambil alih. Menurut studi McKinsey 2022, 70% pekerja mendefinisikan tujuan hidup mereka melalui pekerjaan. Pekerjaan bukan hanya simbol kebermanfaatan, tetapi juga sumber pemberdayaan ekonomi dan status sosial.

Namun, kemampuan teknis dan kreatif AI membuat banyak orang merasa tergantikan. Di Hollywood, agensi mulai menggunakan AI untuk menulis naskah film, yang memicu protes dari penulis naskah yang khawatir kehilangan pekerjaan.

Ketakutan terhadap pertumbuhan AI ini beralasan. AI dapat mengolah data dalam jumlah besar, menciptakan keunggulan kompetitif yang mengkhawatirkan. Dengan biaya operasional yang rendah, AI bisa menghasilkan karya menarik dari ratusan ribu kombinasi data.

Riset MIT 2023 menunjukkan bahwa responden lebih menyukai konten buatan AI. Hal ini bisa dianggap sebagai sinyal bahwa AI semakin baik dalam menciptakan karya. Banyak karya seni buatan AI bahkan memenangkan penghargaan bergengsi.

Di Amerika Serikat, banyak pemimpin perusahaan mengintegrasikan AI dalam operasional mereka dengan alasan meningkatkan kualitas produk (58%), meningkatkan output (49%), mengurangi biaya tenaga kerja (47%), dan menggantikan pekerja (33%). Penggunaan AI dalam bisnis dapat mengurangi biaya dan mengancam keberadaan pekerja yang mahal dalam hal gaji dan manfaat lainnya.

Mari kita bahas dengan studi kasus. Suatu organisasi nirlaba sedang mempertimbangkan untuk membahas tema penanganan kesehatan bagi anak-anak. Para pemimpinnya menimbang dua opsi: mengadakan talkshow atau menciptakan video. Mereka mulai menghitung komponen biaya. Tujuannya adalah agar banyak orang teredukasi oleh talkshow organisasi tersebut.

Sekarang, mari kita hitung komponen biayanya. Talkshow butuh banyak komponen biaya: tempat, honor pembicara, konsumsi, publikasi dan dokumentasi. Kapasitas tempatnya pun terbatas, sekitar 300-500 orang. Perkiraan biaya total antara 70-100 juta. Sedangkan membuat video berdurasi 10-15 menit, komponen biayanya untuk berlangganan AI video-making sebesar 1,5 juta, lalu aplikasi edit video 500 ribu, dan promosi di media sosial sebesar 2 juta. Karyawannya hanya perlu belajar prompting. Setelah videonya jadi, dipublikasikan di YouTube. Potensi orang yang menonton bisa ribuan bahkan jutaan.

Kalau berdasarkan argumen hasil akhir dan efisiensi biaya serta waktu, para pemimpin kemungkinan akan memilih membuat video. Dampaknya lebih besar dan cost-nya jauh lebih kecil. Terlebih, dengan kondisi ekonomi yang tidak pasti, efisiensi menjadi pilihan yang bijak dan tepat. Mengadakan talkshow banyak ketidakpastiannya, khususnya dari jumlah peserta yang akan datang. 

Saat ini, kapasitas AI mungkin terbatas, tetapi bagaimana dalam 5-10 tahun ke depan? Perusahaan teknologi berinvestasi miliaran dolar untuk pengembangan AI, yang mengindikasikan bahwa pertumbuhannya akan semakin eksponensial. Artificial Intelligence bisa membuat kita kehilangan pekerjaan kita sekarang.

Apakah Kita akan Kehilangan Pekerjaan?

Beberapa pundit berpendapat bahwa AI tidak akan menggantikan manusia, melainkan mempercepat pekerjaan manusia. Pandangan ini optimis, dan saya merasakannya saat membuat konten dengan ChatGPT. Aku tetap berperan sebagai pengambil keputusan: apakah akan menggunakan konten tersebut atau tidak.

Dalam jangka pendek dan menengah, mungkin ini yang akan terjadi. Banyak pekerja sudah memanfaatkan AI. Kecerdasan buatan dapat berfungsi sebagai analis data yang membantu manusia mengambil keputusan strategis. Dengan kata lain, manusia masih memegang peran penting.

Pekerjaan di bidang teknologi akan semakin dominan, dan manusia harus meningkatkan literasi data dan teknologi. Pekerjaan di bidang pemasaran digital, manajemen media sosial, prompting, pemeliharaan robot, analis data, dan penambangan data akan menjadi umum. World Economic Forum (WEF) meramalkan munculnya pekerjaan bergaji tinggi di 2030, seperti pengembangan perangkat lunak, analis keamanan informasi, spesialis risiko finansial, dan admin jaringan.

Dalam jangka panjang, saya berpijak pada skenario Deep Utopia dari Nick Bostrom. The Economist membahas buku terbaru Bostrom yang menyatakan bahwa AI akan mampu mengerjakan segalanya, termasuk parenting. Manusia mungkin akan pensiun lebih dini dan memiliki lebih banyak waktu untuk kegiatan yang lebih bermanfaat.

Max Tegmark dalam skenario Egalitarian Utopia-nya memaparkan bahwa 10.000 tahun ke depan, manusia, robot, dan cyborg akan hidup berdampingan dengan jaminan hak-hak dasar terpenuhi. Ini mirip dengan skenario Deep Utopia, di mana kita bisa lebih fokus pada hidup holistik dan mencapai keseimbangan kerja-hidup.

Namun, ada dua syarat mutlak agar skenario ini terwujud. Pertama, kita harus mengubah pola pikir bahwa pekerjaan bukanlah tujuan hidup. Optimalisasi AI dapat mengurangi kebutuhan bekerja penuh waktu, memberi lebih banyak waktu untuk rekreasi, menulis, atau memulai usaha. Jika kita terus mendefinisikan diri dengan pekerjaan, kecemasan dan depresi akan muncul akibat kehilangan rasa bermanfaat.

Kedua, setiap negara harus memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan memberikan penghasilan dasar yang memadai. Kebutuhan dasar mencakup pendidikan dan akses layanan kesehatan gratis, sementara penghasilan dasar harus mencukupi untuk kebutuhan keluarga.

Dalam jangka panjang, ada kemungkinan kita tidak akan bekerja dengan pola saat ini. Namun, dalam jangka pendek dan menengah, muncul varian pekerjaan baru. Namun, saingan kita bukan hanya manusia, tetapi juga AI. Kecerdasan buatan, meskipun diciptakan manusia, mampu mengolah ribuan data yang merupakan hasil pemikiran kita. Oleh karena itu, kita harus menemukan keunggulan komparatif untuk tetap bersaing. Selama kita masih menganggap pekerjaan sebagai bagian dari tujuan hidup, belajar terus-menerus akan menjadi kewajiban.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *