Siapapun akan terkena musibah, entah itu sekarang atau nanti. Aku berharap aku tidak terkena musibah. Tetapi, who knows? Tuhan selalu memberikan kejutan yang luar biasa – dalam artian apapun. Dan itu terjadi pada salah satu keluarga harmonis di Brisbane Australia.
Baru-baru ini, aku selesai membaca buku Will to Live. Buku ini sungguh menakjubkan dan inspiratif. Matthew dan Diane Ames berbagi kisah perjalanan keluarganya menghadapi musibah besar. Dalam buku tersebut, Diane menceritakan bagaimana Matthew, yang terlihat sehat saat pulang dari dinas, tiba-tiba jatuh sakit beberapa hari kemudian.
Kemudian, beberapa hari berikutnya, kehidupan Matthew dan Diane berubah total. Matthew mengalami penyakit yang nyaris merenggut nyawanya. Tangan dan kakinya pun tak lagi berfungsi. Satu-satunya cara agar Matthew punya kesempatan hidup adalah mengamputasi tangan dan kakinya. Diane, istrinya, mengambil keputusan tersebut, meskipun peluang hidup Matthew hanya 1%.
Keputusan tersebut membuahkan hasil, di mana Matthew berhasil selamat. Dalam penantian yang penuh dengan pergolakan emosi, Matthew akhirnya membuka matanya. Betapa leganya keluarga besar Matthew dan Diane mendengar kabar tersebut. Meski begitu, Matthew harus menghadapi kenyataan bahwa dia harus hidup tanpa tangan dan kaki.
Dukungan dari Berbagai Pihak
Ketika Matthew mulai menjalani kehidupan “New Normal” dengan hari-hari dipenuhi rehabilitasi dan penyesuaian di sana-sini, hal yang membuatku kagum adalah betapa besarnya dukungan dari teman, kerabat, dan komunitas. Mereka saling bahu-membahu membantu keluarga Matthew dan Diane agar hidup lebih mudah.
Misalnya, Gwen dan Nicole, teman dekat Diane, sering menawarkan untuk menjaga anak-anak Matthew dan Diane. Hal itu sangat memudahkan Diane untuk bisa fokus saat Matthew masih berada di ICU.
Tidak hanya itu, kakak dari Matthew, Rachel dan Kate, membantu keluarga Ames dalam banyak hal, seperti memandu dalam mengisi formulir akses pendanaan dan asuransi serta membuat blog untuk menginformasikan kondisi Matthew kepada kerabat, kolega, dan sahabatnya.
Komunitas tempat anak-anak Matthew dan Diane bersekolah juga sangat suportif. Mereka menggalang dana untuk membantu Matthew mendapatkan tangan dan kaki prostetik. Sekolah bahkan turut memastikan Matthew merasa diterima ketika ia berkunjung.
Tempat kerja Matthew juga tak ketinggalan memberikan dukungan. Beberapa rekan kerjanya mengunjungi dan tetap menjaga hubungan dengannya. Mereka bahkan mengadakan acara movie screening untuk menggalang dana bagi Matthew.
Bagaimana Jika Aku?
Kisah Matthew dan Diane Ames memberikan pelajaran penting bagiku. Kejadiannya memang jauh di Indonesia, dan aku tidak mengenal mereka. Tetapi, aku jadi paham pentingnya support system dalam hidup. Aku bisa bilang bahwa berada dalam komunitas membuat hidup kita jadi lebih mudah karena ada tangan-tangan baik yang siap membantu.
Membaca kisah Matthew dan Diane membuatku berpikir, “Bagaimana jika aku yang berada di posisinya Matthew? Apakah aku punya sistem pendukung yang dibutuhkan?” Mungkin pertanyaan paling fundamental adalah, “Apakah teman-temanku nanti akan membantu, seperti teman-teman Matthew dan Diane yang siap membantu mereka?”
Jujur, aku tidak tahu jawaban dari dua pertanyaan tersebut. Mungkin karena aku tidak peka atau berhenti berharap pada orang lain atau aku ternyata tidak seberharga itu. Namun, jawaban dari pertanyaan ini akan muncul ketika kita berada di situasi yang ekstrem, mungkin seperti yang dialami Matthew.
Keluarga inti pasti membantu, tetapi dalam keadaan yang ekstrim, kita butuh bantuan semua pihak. Aku sering mendengar bahwa rakyat Indonesia berprinsip gotong royong. Namun, bagi yang belum merasakan indahnya gotong royong ketika ada di situasi ekstrim, itu semua butuh pembuktian.
Aku berharap ketika kita berada di situasi seperti Matthew atau situasi ekstrim lainnya, kita punya support system yang kuat. Kita punya teman yang memang peduli dan perhatian kepada kita. Kita memiliki sahabat yang senantiasa mengupayakan untuk hadir dan membersamai kita, walau sesulit apapun keadaan kita.
Aku percaya bahwa kita dilahirkan untuk saling mendukung dan menolong satu sama lain. Apabila ada teman kita yang butuh bantuan, meskipun hanya ingin ditemani ngobrol, bantulah! I am willing to do that karena tidak ada orang yang dilahirkan sendirian di dunia ini