Pertama kali berkunjung ke Hunian Sementara (Huntara) Kampung Bayam, aku seperti berada di oase di tengah padang pasir. Waktu itu, aku ditemani oleh temanku untuk melihat situasi di Kampung Bayam untuk acara organisasiku. Plang bertuliskan Jakarta Habitat menghiasi pintu masuknya. Aku melihat sekeliling, rasanya ini seperti kampung biasa. Lalu, kenalanku mengarahkanku untuk masuk ke gang kecil. Saat menyusuri gang tersebut, aku disambut oleh tanaman hijau dan suara gemericik air. Aku pikir, “Wow, ini hunian sementara? Doesn’t feel like one, though.”
Seketika aku teringat tentang ekonomi sirkular, sebuah gagasan yang diyakini sebagai solusi untuk perubahan iklim. Aku tersenyum, bukan karena gagasan itu baru, tetapi karena warga Kampung Bayam sudah menerapkannya dalam keseharian mereka. Mereka mengubah sampah menjadi pupuk, memanfaatkan limbah, dan beradaptasi dengan sumber daya yang ada—persis seperti yang dilakukan masyarakat agraris sejak ribuan tahun lalu. Orang-orang yang menggaungkan konsep ekonomi sirkular seharusnya melihat langsung kehidupan di Huntara Kampung Bayam.
Baru berjalan 10 langkah, aku melihat seorang pria memakai topi petani sedang mengurus kolam ikan. Setelah melihat kami berdua, dia langsung menghampiri kami, dan menyambut kami dengan hangat. Aku merasakan aura yang berbeda dari orang ini. I think this guy has gone through hell and still survives. Dialah Bang Furqon, Ketua Kampung Bayam.
Kami diajak duduk di pendopo Huntara. Tidak terlalu besar, tetapi terasa nyaman. Rasanya sudah lama aku tidak duduk lesehan sambil berbincang dengan teman atau rekan; mungkin aku terlalu terbiasa dengan sofa empuk. Obrolan pun mulai mengalir.
Awalnya, aku berencana hanya menghabiskan satu jam di Huntara. Tapi ternyata, rencana tinggal rencana. Diskusi kami dengan Bang Furqon mengalir panjang lebar, mulai dari isu negara hingga masa depan pertanian. Yang membuatku terkesan adalah luasnya wawasan Bang Furqon; seperti kuliah gratis. Keluasan wawasannya membuatku merasa malu karena mulai jarang membaca literatur.
Ketika berdiskusi, ada satu kalimat dari Bang Furqon yang terus terngiang di kepalaku. Saat diskusi, kami menyinggung tentang kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia, yang sering dikatakan rendah oleh pemerintah. Bang Furqon menyanggah, “Bukan SDM-nya yang rendah, tapi pemerintahnya.” Kalimat itu menantang cara pikirku. Menurutku, ada benarnya. Banyak contohnya: pejabat yang korup, hukum yang dimanipulasi, dan lembaga anti rasuah yang kini tak lagi bertaji. Aku sadar bahwa “rendah” di sini bukan hanya soal intelektual, tetapi lebih tentang etika dan moral.
Pendopo yang Guyub
Sehari sebelum acara organisasiku, fisikku nyaris tak kuat lagi untuk menuju ke Huntara, namun hasrat untuk merasakan sehari di sana jauh lebih kuat. Aku dan teman-teman organisasiku sepakat untuk menginap di pendopo setelah kunjungan kedua pada hari Sabtu seminggu sebelum acara. Teman-teman pada penasaran letak Huntara Kampung Bayam. Karena aku pernah ke sana, jadilah aku tour guide dadakan untuk mereka.
Ketika aku tiba, pendopo sudah cukup ramai dengan orang-orang. Aku disambut oleh kehangatan warga dan teman-temanku. Sambutan tersebut membuatku berimajinasi menjalani hidup di zaman agraris. Mungkin, warga zaman pertanian sangat guyub, di mana orang-orang melepas lelah dengan bercengkerama. Aku melihat itu di warga Kampung Bayam. Mereka adalah sisa dari semangat peradaban paguyuban yang kian hari kian terkikis karena peradaban individualisme.
Kami kembali berbincang dengan Bang Furqon. Ia bercerita jauh lebih detail tentang kondisi warga Kampung Bayam yang mengalami ketidakadilan dari pihak pembuat kebijakan provinsi. Mereka harus pindah ke Huntara karena belum ada kepastian terkait rumah susun yang dijanjikan. Di tengah pergantian kekuasaan di Jakarta, warga terus menunggu hak mereka dipenuhi.
Setelah mendengar cerita Bang Furqon dan warga sekitar beberapa kali, aku tak bisa lagi berkata-kata. Awalnya mungkin aku ingin memberi kalimat penyemangat. Tetapi, faktanya, kalimat penyemangat mungkin terkesan menghina spirit warga yang tidak padam.
Lalu, Ikut mengutuk pembuat kebijakan? Ya, itu aku lakukan sambil lalu sembari berdiskusi soal buruknya tata kelola pemerintahan Indonesia. Tetapi, warga pun pasti juga sudah sering protes soal ketidakpastian yang mereka hadapi. Wong, mereka menjadi korban diskriminasi kebijakan pemerintah.
Satu hal yang pasti adalah they do not need consolations or pityness from us. Yang warga Kampung Bayam butuhkan adalah tempat tinggal yang layak dan penghidupan yang layak. Aku bisa bilang seperti itu karena saat aku berada di sana, aku tidak merasakan perasaan putus asa: Yang ada hanyalah rasa optimis yang rasional dan terukur. Mereka tidak akan pernah menyerah sampai mendapatkan haknya.
Arti Keberadaanku
Jujur, penderitaan mereka adalah area yang baru untukku. Aku tidak merasakan apa yang warga Kampung Bayam rasakan. Aku hanyalah pendatang baru yang ingin mengetahui situasi di sana dan berdialog dengan warga. Mungkin keberadaanku dan teman-temanku sedikit membantu. Tetapi, itu hanya sementara. Kita hanya tamu yang ingin menjalin silaturahmi.
Namun, benakku berteriak, “aku tidak ingin hanya sebagai tamu. Aku ingin sebagai saudara.” Bertemu dengan mereka membuatku berefleksi soal kehidupan dan apa yang ingin aku lakukan sebagai individu. Aku ingin bisa terus mendampingi komunitas-komunitas lokal seperti warga Kampung Bayam.
Aku hanya bisa berterima kasih kepada warga Kampung Bayam karena telah membuatku menemukan apa yang sebenarnya aku ingin dan harus lakukan dalam hidup. Buat warga Kampung Bayam, hatiku akan selalu membersamai.