Profesor Rhenald Kasali, Guru Besar di bidang manajemen, dalam salah satu postingan-nya menyinggung satu topik yang cukup menggelitik, yaitu influencer. Saat ini, influencer memang menjamur di Indonesia. Banyak orang yang ingin menjadi influencer selain imbal ekonomi, mereka memiliki pengaruh yang besar.
Ini bisa dibuktikan dengan pemerintah mengundang influencer ke Ibu Kota Negara (IKN) sebagai bagian dari kampanye publik. Pemerintah lebih memilih mengundang influencer, ketimbang Kementerian Sekretariat Negara. Profesor Koentjoro, Guru Besar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengkritik langkah tersebut, dengan menganggap pemerintah mau mengadu kepakaran dengan suara netizen.
Meskipun kekesalan Profesor Koentjoro bisa dipahami, namun, bukan itu yang ingin aku bahas. Melainkan pengaruh influencer dalam memberikan informasi dan legitimasi. Suara mereka sangat didengar oleh publik karena influencer paham bagaimana memposisikan diri mereka di masyarakat. Influencer juga paham mengkomunikasikan suatu hal menggunakan bahasa sehari-hari.
Memang bagus influencer bisa menyesuaikan gaya komunikasinya dengan audiens, tetapi apakah influencer sudah memiliki dasar keilmuan yang kuat?
Berbagi atau “Berbagi”?
Mungkin sering kita dengar selentingan kalimat yang kurang lebih seperti ini, “gue di sini hanya ingin berbagi informasi.” Alasan itu yang membuat influencer tergugah untuk membuat konten. Influencer memiliki matriks yang mudah diukur untuk menilai konten, yaitu likes, view, comment, dan share. Jika angka-angka komponen tersebut tinggi, konten tersebut dianggap valid dan relevan di masyarakat.
Akan tetapi, fenomena ini bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, jika informasinya tepat dan menggunakan sumber yang kredibel, masyarakat akan dapat insight yang baru. Sebaliknya, jika sumber informasinya kurang kredibel, ini bisa jadi bumerang. Kita pun juga perlu mempertimbangkan kapasitas keilmuan dari influencer.
Sayangnya, terlepas dari kredibilitas sumber dan kapasitas keilmuan influencer, masyarakat cenderung menganggap influencer sebagai sumber informasi. Berdasarkan survei dari YouGov tahun 2024, 36% masyarakat Indonesia menjadikan pemengaruh sebagai sumber utama informasi kesehatan. Ini mengisyaratkan bahwa para influencer memiliki tanggung jawab moral untuk menyebarkan informasi yang valid.
Fenomena knowledge influencer ini juga dibarengi dengan perubahan sumber informasi. Menurut Status Literasi Digital Indonesia 2022, 72% masyarakat Indonesia menjadikan media sosial sebagai sumber informasi utama. Ini membuat masyarakat akan terekspos informasi dari influencer. Di sisi influencer, hal ini menjadi potensi besar bagi influencer untuk memanfaatkan jumlah pengikutnya menyebarkan informasi yang mereka anggap “benar”.
Semangat “berbagi” pun akan terus digaungkan oleh influencer. Sentimen masyarakat pun bagus soal influencer. Dalam artikel yang ditulis peneliti BRIN, para influencer sering membagikan tips yang relate dengan kehidupan masyarakat, sehingga menimbulkan rasa percaya.
Oleh karena itulah, pengaruh dari influencer cukup sulit dihentikan. Pertanyaannya adalah bagaimana dampaknya terhadap penyebaran ilmu pengetahuan?
Tiga Perspektif
Ada tiga perspektif menurutku soal jawaban pertanyaan ini. Perspektif pertama adalah jika influencer ini adalah seorang pakar yang memang paham apa yang dibicarakan. Di sini, kita bisa bicara soal Yuval Noah Harari atau Ray Dalio.
Kita bisa menilai mereka dari track record dan karyanya. Yuval Noah Harari telah bicara panjang di beberapa bukunya (Sapiens, Homo Deus, 21st Lessons for 21st Century, dan Nexus). Ray Dalio sudah memimpin perusahaan hedge fund terbesar di dunia, serta membuat dua buku babon (The Changing World Order dan Principle). Jadi, kalau mereka berbicara di media sosial atau media manapun, kemungkinan besar kita akan percaya.
Perspektif kedua adalah kalau influencer bukan seorang ahli tetapi menggunakan rujukan yang valid. Mereka mencantumkannya di bagian caption atau jika di website menggunakan backlink agar pembaca bisa membaca kembali sumbernya. Influencer kemudian berargumen dan beranalisis berdasarkan data tersebut. Itu masih bisa diterima dengan catatan.
Perspektif ketiga adalah influencer-nya tidak punya kepakaran, dan dia menggunakan sumber yang tidak valid atau satu sumber saja. Jadi tidak ada pembanding untuk menilai kesahihan argumennya. Itulah kenapa di skripsi ada membandingkan literatur yang fungsinya adalah agar kita memiliki gambaran yang lebih luas tentang suatu fenomena. Meskipun memang relate, perlu kajian sumber lainnya untuk memastikan argumennya valid.
Tiga perspektif ini yang menjadi rujukanku ketika mendengarkan influencer berbicara. Aku akan membaca biodata influencer-nya terlebih dahulu. Jika influencer menyebarkan informasi berdasarkan keilmuan dan pengalamannya, itu layak didengar. Sebaliknya, jika influencer tersebut kurang memiliki keilmuan atau pengalaman yang relevan, aku akan cross check informasinya.
Pakar Harus Turun Gunung
Maraknya influencer sebagai “pakar” bisa terjadi karena pakar tidak – atau belum – mengisi ruang-ruang kosong dialektika di media sosial. Pakar saat ini lebih banyak berkutat di laboratorium dan kertas penelitian saja. Pakar-pakar yang ada di kampus pun lebih sibuk menulis jurnal untuk dimasukkan ke dalam scopus, yang sayangnya, menurut argumen Tempo, tingkat keterbacaannya minim.
Penelitian memang penting untuk menghasilkan pengetahuan baru, tetapi pengetahuan tersebut perlu disebarkan secara lebih luas, tidak hanya di kalangan akademisi. Terlebih, minat baca orang Indonesia masih tergolong rendah. Oleh karena itu, akan sangat membantu jika peneliti mulai mengubah hasil penelitian mereka menjadi konten yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat umum.
Artinya, para pakar perlu turun gunung mengisi ruang-ruang di media sosial dan media online dengan konten-konten yang disesuaikan dengan audiens. Pakar tetap menulis artikel ilmiah untuk segmen ahli, sambil juga membuat konten yang lebih ringan dan mudah dicerna di platform yang lebih luas. Pakar juga perlu terbuka terhadap pertanyaan netizen. Bisa jadi, dari pertanyaan tersebut, muncul ide penelitian baru.
Jika para pakar mulai terlibat aktif di media sosial, pengaruh influencer yang tidak kredibel dapat berkurang. Meskipun mungkin mereka belum bisa menyaingi eksposur yang dimiliki influencer, ini merupakan langkah awal yang baik untuk terlibat dalam diskusi di ruang publik digital. Dengan begitu, netizen juga bisa mulai bersikap lebih kritis terhadap informasi yang mereka konsumsi.
Namun, butuh waktu berapa lama agar netizen lebih banyak mendengar pakar?