Siapa yang Disebut Sebagai Rakyat oleh Pejabat?

Sering kali kita mendengar kata “rakyat,” terutama saat pemilihan umum (pemilu) di mana banyak pejabat mengklaim berbicara atas nama rakyat. Namun, dari sudut pandangku sebagai bagian dari rakyat, aku justru bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang disebut rakyat? Bagi sebagian orang, kata ini terasa abstrak dan memiliki makna yang berbeda-beda.

Siapa itu Rakyat?

Secara umum, setiap warga negara Indonesia, dari bayi hingga lansia, adalah rakyat. Menurut Jimly Ashidique, mengutip dari Kompas.com, rakyat merupakan entitas otonom yang memiliki hak dan kewajiban, sebagaimana dijelaskan dalam konstitusi negara. Pengertian ini benar dari sudut pandang normatif karena tertuang jelas dalam UUD 1945.

Namun, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) memberikan pengertian yang lebih praktis. Cak Nun, mengutip dari Kompas.com, menyatakan bahwa rakyat adalah sekelompok orang yang diatur oleh penguasa, sehingga rakyat harus tunduk pada kebijakan yang dibuat oleh pihak berwenang.

Dua definisi ini tampak kontras. Definisi pertama menganggap rakyat sebagai subjek yang memiliki hak, sementara definisi kedua melihat rakyat sebagai objek yang diatur oleh penguasa. Kedua pandangan ini tidak salah, hanya berbeda dalam perspektif.

Dalam konteks kebijakan, ada rakyat yang diuntungkan dan ada pula yang dirugikan. Idealnya, kebijakan harus menguntungkan semua pihak, namun kenyataannya akan selalu ada rakyat yang terkena dampak negatif. Tidak adil jika kita mengatakan, “selama porsinya masih bisa ditolerir.” Siapa yang mau menjadi korban dari kebijakan pemerintah? Tentunya tidak ada!

Ketika ada rakyat yang dirugikan, pertanyaannya adalah apakah pembuat kebijakan, dalam hal ini pemerintah, hanya akan diam atau berusaha mencari solusi? Idealnya, pemerintah harus mendengarkan suara rakyat yang dirugikan, karena ini adalah tanggung jawab moral dan hukum. Pemimpin negara harus memastikan kebijakan yang diambil adil untuk semua.

Namun, apakah hal itu benar terjadi akhir-akhir ini?

Yang Terlupakan

Ketika berbicara tentang rakyat, seharusnya tidak ada pengelompokan dalam klaster-klaster kecil. Kita semua adalah rakyat yang tinggal di Tanah Air Indonesia, dengan hak dan kewajiban yang diatur oleh konstitusi. Setiap orang berhak untuk menyuarakan pendapat, mencari penghidupan yang layak, dan diperlakukan sama di mata hukum.

Sayangnya, kenyataannya berbeda. Di Indonesia, ada berbagai jenis rakyat yang sering dikelompokkan berdasarkan tingkat ekonomi dan status sosial: elit, menengah ke atas, menengah, menengah ke bawah, dan miskin. Dari pengelompokan ini, kita bisa melihat arah kebijakan yang dibuat.

Mari kita lihat beberapa contoh: pajak penghasilan naik menjadi 12%, potongan TAPERA 3% dari gaji, minimnya kesejahteraan guru honorer dan dosen, serta kebijakan-kebijakan lain yang tidak berpihak pada rakyat kelas menengah dan bawah.

Contoh lainnya adalah kasus Kampung Bayam, di mana warga digusur oleh pemerintah provinsi (Pemprov) untuk membangun Jakarta International Stadium (JIS). Kini, warga terpaksa tinggal di hunian sementara di Jakarta Utara.

Di sisi lain, kebijakan pemerintah sering kali lebih menguntungkan kaum elit. Misalnya, tunjangan rumah untuk anggota DPR sebesar 50 juta, serta kebijakan asuransi kesehatan eks menteri yang ditanggung oleh APBN.

Dari perbandingan kebijakan ini, terlihat jelas bahwa rakyat kelas menengah dan bawah lebih sering mendapatkan kebijakan yang memperumit hidup mereka, sementara para elit menikmati kebijakan yang lebih menguntungkan. Kenapa para pejabat bisa hidup nyaman, sedangkan rakyat kelas menengah dan bawah harus menanggung pahitnya kebijakan pemerintah?

Siapa yang Sebenarnya Disebut Rakyat?

Rakyat yang dipikirkan oleh para pejabat dan perwakilan rakyat tampaknya adalah mereka yang berada di kelas atas. Rakyat kelas menengah dan bawah sering kali terlupakan. Padahal, pemimpin negara seharusnya memastikan bahwa sumber daya yang ada terdistribusi secara adil dan merata.

Dari sini, kita bisa melihat siapa yang dimaksud dengan “rakyat” oleh para pengambil kebijakan. Mereka adalah rakyat kelas atas atau setidaknya kelas menengah ke atas. Sementara itu, rakyat kelas menengah ke bawah hanya dianggap sebagai objek ekonomi.

Tidak heran jika di akar rumput, ada kelompok-kelompok yang semakin skeptis terhadap pemerintah. Sikap skeptis ini adalah bentuk kekecewaan dan protes terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada mereka.

Aku berharap, presiden dan wakil presiden yang baru dapat membuat kebijakan yang benar-benar berorientasi pada seluruh rakyat, tanpa memandang latar belakang. Mereka perlu membuka ruang dialog yang lebih luas sehingga kebijakan yang dihasilkan dapat tepat sasaran dan adil bagi semua pihak.

1 thought on “Siapa yang Disebut Sebagai Rakyat oleh Pejabat?”

  1. Pingback: Menjadi Pemimpin itu Susah, Ini 3 Kualitas Dasar yang Harus Pemimpin Punya - Wanderthink

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *