Bijak Menggunakan Hak Memilih Paslon Dalam Pilkada

Kontestasi pemilu kepala daerah (pilkada) telah berjalan. Masing-masing pasangan calon (paslon) berkampanye di banyak titik di daerah. Ada yang masuk gorong-gorong atau berkumpul di satu auditorium untuk “berdialog” dengan warga. Pada intinya, masa kampanye ini digunakan untuk meningkatkan elektabilitas setiap paslon.

Karena aku di Jakarta, aku akan fokus pada kontestasi di daerah yang bukan lagi ibukota. Ada tiga calon dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing, yaitu Ridwan Kamil-Suswono, Dharma Phongrekun-Kun Wardhana, dan Pramono Anung-Rano “Doel” Karno. Rakyat harus memilih salah satunya.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah setiap paslon memiliki gagasan atau visi misi yang tepat? Itu jadi penilaian subjektif. Mereka punya fokus dan program tertentu yang membedakannya dengan paslon lain.

Akan tetapi, ketika ketiganya berada pada satu panggung yang sama pada debat beberapa hari yang lalu, yang ada malah kekecewaan. Dari lini media sosial, netizen mengungkapkan debat kali ini tidak substantif. Aku juga menyaksikan sendiri bagaimana anehnya pertunjukkan debat tersebut. Gagasan mereka tidak dikembangkan, bahkan cenderung tidak substantif. Ketiganya seperti berkompromi, bukan saling mendebatkan program yang dimiliki.

Dosen komunikasi politik Universitas Paramadina, Erik Ardiyanto, menilai debat pertama terkesan menghafal. Paslon kurang memahami gagasan yang dilontarkannya, sehingga membuat masyarakat skeptis dengan paslon yang tersedia.

Segelintir reaksi pun muncul, namun salah satu yang melekat di kepalaku adalah “Bisakah aku tidak memilih salah satunya?”

Memilih termasuk hak dan kewajiban. Hak dalam artian bahwa aku berhak untuk menentukan pilihan yang tepat tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Di sisi lain, memilih adalah kewajiban warga negara karena pilihan kita menentukan nasib negara dalam lima tahun kedepan. Negara perlu pemimpin untuk menjalankan roda perekonomian dan politik, sehingga tidak ada kekosongan kekuasaan.

Pertanyaannya adalah bagaimana jika calon yang ada kurang berkualitas? Apakah kita harus memilih salah satunya? Situasi ini yang mungkin membuat Winston Churchill pernah berkata bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan terburuk kecuali semua bentuk lain yang telah dicoba dari waktu ke waktu. 

Artinya adalah kita berada di dalam sistem yang memungkinkan satu atau dua paslon yang kurang berkualitas dapat maju ke dalam kontestasi, bahkan bisa memenangkan pemilu. Ketika kita menilai bahwa para paslonnya kurang berkualitas, wajibkah kita untuk memilih mereka?

Di sini konteks memilih sebagai hak. Memilih berarti suatu aktivitas memutuskan sesuatu, terlepas apapun pilihan yang diberikan. Bagiku, ketika tidak ada paslon yang sreg denganku, ada dua pilihan yang bisa diambil: memilih atau tidak memilih? Dua-duanya merupakan pilihan, sehingga ketika kita memilih untuk tidak memilih, itu bentuk pilihan kita.

Jadi, pada pilkada November mendatang, gunakan hak pilih kita dengan bijak dan tepat, bukan karena keterpaksaan. Memilih merupakan hak kita sebagai warga negara.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *