Pendidikan. Sebuah kata magis yang menjadi harapan akan perubahan dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan politik. Pendidikan mungkin jadi satu-satunya jalan keberhasilan bagi orang-orang yang mendambakan keluar dari jerat kemiskinan. Riset dari Indikator Politik Indonesia tahun 2022 lalu menemukan bahwa 82,1% orang tua ingin anaknya melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi setelah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Harapan tersebut memang wajar karena pendidikan tinggi memberikan akses yang luas pada orang-orang baru, komunitas baru, dan kesuksesan baru.
Dalam sudut pandang tersebut, pendidikan yang dapat memberikan akses adalah pendidikan yang sifatnya formal. Formal dalam artian harus menempuh periode tertentu dalam satu sistem pendidikan yang diatur oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pendidikan seperti itu yang sangat diharapkan oleh orang tua. Namun, apakah proses belajar berhenti setelah menerima ijazah dan gelar?
Paradoks Tentang Gelar Pendidikan
Banyak orang memiliki berderet-deret gelar yang menunjukkan “kredensial”, status, atau kepakaran mereka. Di satu sisi itu bagus, berarti mereka serius memperdalam kepakarannya. Orang-orang tersebut berhasil menyelesaikan pendidikannya dengan baik. Statusnya pun berubah di masyarakat: menjadi seseorang yang dihormati oleh banyak orang.
Pertanyaannya adalah apakah banyak gelar mengindikasikan bahwa orang tersebut memang ahli? Aku memikirkan perkataan Rocky Gerung tentang itu. Dia pernah berkata bahwa “Ijazah adalah tanda seseorang pernah sekolah, bukan tanda dia pernah berpikir.” Kalimat itu sangat menohok karena menjadi otokritik terhadap orang-orang yang memiliki banyak ijazah dan gelar. Mungkin dengan beragam gelar yang telah kita raih secara otomatis membuat kita berhenti berpikir dan belajar. Padahal, pendidikan sejatinya tidak berhenti setelah kita mendapat gelar dan ijazah.
Faktanya, banyak orang yang mengejar gelar profesor tetapi menghiraukan proses panjang untuk mendapatkannya. Di Universitas Lambung Mangkurat, 11 guru besar Fakultas Hukum dicopot karena merekayasa prosesnya, sehingga melanggar integritas akademik. Padahal, orang-orang tersebut telah menempuh pendidikan sarjana maupun magister. Ini menjadi pertanyaan besar soal gelar dan ijazah.
Di sisi lain, ada sebagian orang meraih kesuksesan meskipun tidak memiliki banyak gelar. Bahkan ada yang yang hanya memiliki pendidikan setingkat sekolah menengah. Susi Pudjiastuti, yang hanya tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP), bisa menjadi pebisnis sukses. Dia memiliki lini usaha di perikanan dan penerbangan. Rekam jejaknya membuat dia dipercaya sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan pada periode pertama Presiden Jokowi.
Aku memberi contoh dari Susi Pudjiastuti bukan untuk menglorifikasi menjadi pengusaha ataupun mendiskreditkan lembaga pendidikan. Akan tetapi, kesuksesan dari Susi Pudjiastuti didapat karena dia tidak pernah kehilangan ketajaman pikirannya. Menjadi pengusaha tentu melelahkan. Setiap hari perlu berpikir bagaimana meningkatkan omset ataupun sekadar mempertahankan bisnisnya. Kondisi tersebut memaksa pengusaha untuk terus berinovasi agar perusahaannya berperforma baik.
Dua fakta yang berlawanan tersebut pun memunculkan pertanyaan, “Apakah seseorang yang memiliki gelar sudah dijamin akan berlaku baik, menjadi role model, dan terus berkarya?”
Pendidikan adalah Tentang Berkarya
Aku merasa gelar tidak menjamin kematangan adab dan perilaku. Bagiku, pendidikan bukan tentang menyelesaikan masa pendidikan. Menyelesaikan pendidikan tinggi memang penting sebagai symbol keseriusan dan komitmen dalam membuat pilihan. Namun lebih dari itu, pendidikan adalah soal bagaimana kita terus berinovasi dalam berkarya, yang dapat membawa manfaat bagi banyak orang. Bukan semata-semata meraih gelar lalu berhenti belajar.
Alvin Toffler, seorang futurist terkemuka, memberikan tiga prinsip penting soal pendidikan, yaitu learn, relearn, dan unlearn. Ketiga hal itu dilakukan secara berkesinambungan. Ilmu pengetahuan terus berkembang, di mana ada beberapa hal yang tidak lagi berlaku sama dalam satu waktu. Misalnya dalam konteks media sosial. Sebagai seorang content specialist, aku perlu belajar bagaimana agar orang-orang tertarik dengan konten yang aku buat. Dan aku tidak bisa hanya menggunakan satu cara; harus mempelajari beragam cara agar konten terus inovatif.
Proses tersebut berlaku umum pada setiap lini kehidupan. Karenanya, kita tidak boleh berhenti belajar. Ketika kita berhenti belajar, disitulah kita berhenti berkembang dan berkarya. Bagiku, pendidikan akan terus terjadi karena kita ada di dalam universitas kehidupan, yang baru akan selesai ketika hayat menyatu kembali ke dalam tanah.
Mempelajari suatu hal yang baru pun memiliki dua manfaat besar, yaitu menjaga otak tetap tajam dan memperlambat penuaan kognitif. Oleh karena itu, seharusnya lembaga pendidikan tidak terjebak pada suatu dogma yang kaku, melainkan menekankan pada anak untuk belajar dengan caranya sendiri, mencari jawabannya sendiri dengan mengandalkan pemahaman dan kreativitasnya. Sehingga, pendidikan tidak hanya menciptakan orang yang siap kerja, melainkan orang yang selalu berpikiran terbuka dan tidak takut memperluas zona nyamannya